Friday, November 05, 2010

Wednesday, November 03, 2010

Nursing Ethics: Menjaga Reputasi, Mempertajam Kompetensi

Oleh Syaifoel Hardy

Saya tidak mampu menahan diri ketika melihat sikap sejumlah perawat di sebuah rumah sakit di mana salah satu angggota keluarga saya dirawat. Ada semacam ‘protes’ kalau terlalu kasar bila disebut berontak terhadap apa yang terjadi. Mulai dari kanula yang tidak diganti sesudah satu pekan lebih, plaster basah yang menempel di atasnya, padahal itu sumber infeksi; pasien yang tidak dibantu kala mandi, catheter yang menggantung lebih dari seminggu padahal pasienya mobile, hingga informasi yang menjadi hak pasien serta keluarganya yang kurang mendapat perhatian. Jika dihitung, panjang sekali daftarnya.




Sebenarnya saya dalam posisi yang serba dilematis. Mau berkata langsung kepada perawat-perawat ini kuatir nanti dikatakan sebagai keluarga pasien yang cerewet. Namun jika tidak diberitahukan itu sama halnya membiarkan ‘kedhaliman’ berlangsung terus. Pada akhirnya saya harus berterus-terang, meski risikonya seperti yang saya sebut di atas.



Beberapa jawaban yang saya peroleh dari perawat jaga antara lain, mereka sibuk dan tenaga kurang. Dua alasan yang bagi saya kurang bisa diterima. Kalau memang sibuk, kok ya masih sempat-sempatnya mereka melihat televise yang terpajang di kantor di mana mereka bekerja. Kalau pun tenaga nya kurang, mereka toh memiliki departemen yang mengurusi ketenaga-kerjaan yang tentu saja mampu memperhitungkan perbadingan jumlah antara pasien-perawat per harinya.



Protes yang saya lemparkan sebenarnya bukan hanya kepada perawat jaga saja. Juga pada pihak administrasi RS. Alhamdulillah saya mendapatkan buahnya, meski belum maksimal. Itu saya rasakan karena dalam 5 bulan terakhir, kami mondar-mandir di RS yang sama, swasta, sebanyak empat kali. Saya pada akhirnya merasakan perubahan sikap sejumlah perawat jaganya Setidaknya pada kali terakhir kami ke sana. Itu lantaran kami berada di bangsal yang sama, sehingga menemui perawat yang tidak berbeda.



Yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah, betapa peranan nursing ethics yang terkait erat dengan reputasi dalam konteks keperawatan itu besar sekali. Ethics berperan besar dalam reputasi, baik individu maupun organisasi dalam skala yang lebih besar dapat dimanfaatkan untuk mempertajam kompetensi profesi keperawatan. Mengenal peran reputasi dari sudut pandang nursing ethics diharapkan dapat merubah mind set professional dari teori ke praktis.



Etika sebagai Fondasi



Di bangku kuliah, nursing students diajarkan nursing ethics. Implementasi etika di sini mestinya menjadi sorotan selama menempa pendidikan. Namun begitu, semua sadar dan memahami bahwa faktor kurikulum, kompetensi dosen, minimnya referensi serta lingkungan memegang peranan besar, sehingga penempaan 3-4 tahun pendidikan belum bisa dijadikan panduan apalagi jaminan bahwa lulusan diploma/bachelor of nursing bakal lulus dengan etika yang baik.



Problematika besar dalam nursing ethics ini bila diurut sumber muasalnya adalah, nursing ethics diberikan sebagai mata kuliah yang bobotnya kecil. Bukan hanya itu! Mata kuliah yang mestinya dijadikan sebagai primadona nursing ini ditempatkan seperti halnya anak tiri. Statusnya tidak terintegrasi dengan mata-kuliah nursing lainnya. Akibatnya, begitu selesai diajarkan, nursing ethics tinggal sejarah.



Sementara itu, para dosen lebih disibukkan dengan pembuktian nursing sebagai ‘science’ ketimbang otak-atik ethics ini. Ethics posisinya benar-benar terpisah dari mata kuliah lain. Kita tidak bisa menyalahkan para dosen dalam hal ini karena minimya materi yang berbau ‘ethics’ dalam setiap mata-kuliah. Ini bisa dimungkinkan oleh minimnya penelitian tentang ethics dalam dunia nursing.

Coba saja kita bayangkan jika setiap mata kuliah, salah satu pendekatannya lewat ethics! Bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang belajar medical surgical nursing, psychology nursing, psychiatric nursing, pediatrics nursing misalnya, kaya akan ethics. Hasil akhirnya tentu bisa diramalkan. Wisudawan bakal ‘kenyang’ akan ethics. Pasar yang luas di luar menanti kedatangan professional yang beretika. Bukan hanya pintar pengetahuan serta terampil semata. PR besar para peneiliti nursing adalah bagaimana mengintegrasikan ethics dalam setiap mata kuliah profesi.



Reputasi adalah Kebutuhan dasar



Etika merupakan salah satu fondasi reputasi. Professional yang mampu menjaga reputasi atau nama baiknya, secara otomatis ber-etika baik. Sebaliknya, jika etikanya kurang, reputasi dipertanyakan.



Ada tiga kebutuhan dasar setiap insan professional: pengkayaan pengetahuan, sikap serta ketrampilan. Reputasi adalah nama baik. Seorang professional akan dapat mengembangkan ketiga kebutuhan tersebut dengan leluasa jika ditunjang dengan nama baik. Perolehan nama baik ini tidak datang begitu saja tanpa jerih payah. Kita akan mendapatkan nama baik sesudah berkarya, baik melalui sikap, atau tangan serta pikiran bila implementasinya berlandaskan ethics guna mempertahankan reputasi.



Kita lihat di Indonesia banyak sekali perawat yang berhasil secara finansial. Mereka ini, meski belum ada penelitian tentang itu, sebenarnya bukan para ahli yang bergelar doctor of nursing, apalagi professor. Mereka mampu ‘memenangkan’ dalam perang merebut hati konsumen pasar kesehatan. Mereka dapat meraup banyak pelanggan di lapangan karena reputasi mereka. Reputasi ini dapat direbut karena mereka mengedepankan etika bergaul dalam masyarakat, baik lewat jalur formal pada waktu kerja, semi formal saat ada pertemuan-pertemuan di masyarakat, atau non-formal ketika ada kontak antar individu.



Dalam pergaulan tersebut, yang dikembangkan oleh kolega kita adalah menanamkan kepercayaan pada individu-individu di masyarakat. Bahwa dengan bergaul bersama rekan-rekan kita yang membuka praktik, sepertinya para pelanggan bakal mendapatkan jaminan: hak-hak mereka sebagai inividu dijunjung, dihormati. Prinsip ini oleh para perawat kita yang berhasil dalam praktik keperawatannya jauh lebih dikedepankan ketimbang masalah kesehatan utama. Karena mengedepankan etika berarti mengutamakan kebaikan. Mengutamakan kebaikan berarti menanamkan kepercayaan. Jika kepercayaan sudah tergenggam, betapapun besar permasahan kesehatan yang dihadapi klien, bisa dicari jalan keluarnya. Maka dari itu, mereka yang mengedepankan etika dalam profesi bakal meraih reputasi. Sebaliknya, mereka yang membuka praktik keperawatan tanpa menggunakan etika sebagai fondasinya, tinggal menunggu saja kehancuran reputasinya.



Reputasi dan Kompetensi



Kompetensi adalah perpaduan hasil pendidikan formal, training, pengalaman kerja, sikap dan ketrampilan. Kompetensi dalam nursing itu unik. Unik karena dilandasi ethics. Ini berbeda sekali dengan profesi kesehatan lainnya yang menitik-beratkan kepada problem-solving based on physical findings (berdasar kepada temuan fisik). Tanpa dilandasi ethics, sebenarnya kompetensi kita dalam nursing diragukan pendekatannya.



Perawat ahli perawatan bedah, perawatan dalam, perawatan jiwa, perawatan anak dan lain-lain boleh mengedepankan ketrampilan, sikap serta pengetahuan spesialisasinya. Namun tanpa dasar ethics, bisa jadi dia skeptis akan profesinya. Mengedepankan persoalan ethics dalam kompetensi nursing ini secara tidak langsung bakal mampu mendongkrak reputasi profesi. Perawat Bedah yang handal bukan mereka yang mampu melakukan pembedahan jantung, ginjal atau kandung empedu. Perawat Anak yang mahir bukan hanya mereka yang mampu membuat takaran kebutuhan cairan bayi yang mengalami dehidrasi. Perawat yang handal adalah mereka yang mampu memenuhi kebutuhan pasien-pasien yang mengalami gangguan khusus di atas dengan mengedepan hak-hak pasien dari sudut pandang ethics.



Ketrampilan semacan ini tidak gampang diperoleh. Butuh waktu, tenaga dan kesungguhan. Kegagalan dalam pemberian pelayanan perawatan lantaran ketikamampuan perawat mengidentifikasi kebutuhan pasien bisa berakibat deteriorasi reputasi profesi. Inilah the essence of nursing (inti keperawatan).



Kesimpulan



Saya melihat banyak perawat yang bekerja ternyata salah persepsi tentang dunia kerja mereka. Kesalahan persepsi ini bisa menyebabkan frustrasi, karena kurang sadar akan jati diri. Lebih buruk lagi, yang jadi korban juga pasien beserta keluarganya. Guna menghindari permasalahan ini, mengedepankan peran ethics dalam kerja itu penting sekali. Karena ethics is the foundation of nursing. Memrioritaskan ethics dalam setiap tindakan keperawatan berarti meningkatkan reputasi profesi. Proses akselerasi ini secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya mempertajam kompetensi. Sebuah kata kunci yang menggiring kita dalam lingkaran kategori professional.



Doha, 11 October 2010

Shardy2@hotmail.com


INNA-Q Professional Meeting 2010





Aku Cinta Indonesia

Oleh Syaifoel Hardy

Semula saya putuskan tidak bakal menghadiri acara amat penting dalam kehidupan profesi saya di Qatar selama tiga tahun lebih ini, lantaran kondisi kesehatan badan yang kurang memungkinkan. Ya, sudah tiga hari terakhir ini agak terganggu. Ada rasa ‘bersalah’ jika tidak datang nanti. Begitu bisik hati ini. Makanya, dengan berbekal semangat, meski tidak seluruh acara bisa saya ikuti, meluncur juga tubuh ini ke program yang, jujur saja, sangat saya nanti-nantikan, di sebuah hotel di kota Doha.




Professional Meeting namanya. Sejatinya, acara ini dilatar-belakangi acara Musyawarah Cabang (Muscab) Indonesian National Nurses Association-Qatar (INNA-Q), dalam rangka peralihan kepemimpinan periode satu ke kedua, tahun 2010-2012. Agar tampak lebih dinamis, ‘judul’ nya kami ‘modifikasi’. Modifikasi judul ini ternyata membuat banyak hal berubah. Mulai dari susunan acara, undangan, pembicara, topik, tempat penyelenggaraan, hingga tentu saja biaya.

Saya datang terlambat. Maklum, sedianya memang tidak hadir. Lagi pula berangkatnya juga numpang mobil rekan kerja. Sekitar 45 menit sudah lewat ketika sampai di hotel. Yang penting, acara inti tidak ketinggalan. Begitu pikiran saya. Ringkasnya, saya bisa mengikuti sebagian besar acara dengan serius.

Tulisan ini merupakan bagian dari refleksi diri terhadap performance of the Indonesian Nurses in Qatar.

Saya kagum dengan ulasan lengkap yang disampaikan oleh Ms. Martinez, asal Filipina, Pembicara Tamu kita pagi tadi yang menyampaikan: Challenges of Nurses in the World of Healthcare Services. Kupasannya menyangkut peran nurses dalam skala internasional, tentangan serta rekomendasi. Apa yang beliau sampaikan intinya memberikan dorongan semangat kepada nursing professional untuk tetap maju meniti karir ini, sebagai sebuah pilihan yang tepat. Bukannya penyesalan.

Lantas mengapa saya kaitkan hal ini dengan Aku Cinta Indonesia? Banyak orang kita yang memandang nurses dengan sebelah mata. Kita yang sedang bekerja di luar negeri, dicap hanya sebagai pekerja yang kurang cinta Tanah Air. Hanya mencari dollar, memburu Dirham atau Riyal.



Cinta artinya sangat luas. Begitu luasnya arti cinta, hingga membuat orang Asia umumnya, segan jika terus terang harus mengatakan dengan lisan. Utamanya lewat tatap muka. Jangankan dengan orang lain. Orangtua ke anaknya saja, di negeri kita, jarang kita mendengar kata-kata ini. Barangkali alasan yang paling kuat mengapa hal ini tidak terjadi adalah karena rasa ‘tabu’. Tabu mengatakan ‘aku cinta kamu’. Kecuali dalam film-film nasional kita, yang diobral kata-kata ini semurah-murahnya, sehingga terkesan tidak lagi ada harganya.

Mengemas acara Professional Meeting di antara profesi kami di Qatar dengan melibatkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain bukanlah persoalan mudah. Apalagi sepele. Sementara orang berpikir bahwa membuat acara seperti ini yang penting ada duit, semua bisa terwujud. Tidak saya pungkiri, benar! Tapi banyak hal-hal yang tidak bisa dibayar dengan uang: rapat, persetujuan anggota atau team, pembentukan panitia serta kesuka-relaan mereka dalam kerja, dan kesungguhan dalam pencapaian tujuan. Singkatnya: team work, di mana semua ini harus dibayar mahal. Sangat mahal!

Sekitar tiga bulan sebelum acara dilaksanakan, komunikasi lewat email, telefon dan berbagai repat kecil sudah dilakukan. Tarik-ulur tentu terjadi. Setuju dan tidak setuju bukan hanya monopoli anggota DPR. Masing-masing memiliki argument tersendiri. Tapi komitmen anggota inti sama: sepanjang yang bakal dilaksanakan nanti itu baik untuk anggota dan mendongkrak reputasi profesi, jalan terus. Saya membaca, dukungan yang sangat sedikit sekali dari keseluruhan anggota. Macam-macam issue dan alasan yang masuk ke telinga ini.

Mundur? Tidak juga. Tim dibentuk. Yang hadir waktu rapat? Hanya 5 orang. Jalan! Sekali lagi, jalan! “Hebat!” Begitu gumam saya dalam hati. Jangan pernah mundur hanya karena bisikan-bisikan, betapapun jumlahnya banyak. Selagi langkah ini berbuah positif, tetap optimis. Keringat, jangan diukur lelahnya, utamanya yang dialami oleh panitia inti. Kekuatiran saya sempat berlapis-lapis, membayang-bayangi optimisem dalam merealisaikan rencana akbar ini.

Rapat makin intensif dilaksanakan, dihadiri oleh hanya orang itu-itu saja. Dari dulu. Sebenarnya ada rasa kesal juga. Tapi sampai kapan? Tidak menyelesaikan masalah. Kami bangkit. Agenda digelar dan jalan terus. Biarpun 4 orang, tapi jika kuat pilarnya, rumah akan bisa berdiri, ketimbang dua puluh tapi rapuh. Mulai dari kegiatan A hingga Z, diidentifikasi. Ini terjadi hingga satu hari sebelum Hari H.

Undangan disebar, Gladi resik digelar. Ah, lega rasanya. Semua anggota panitia wajib mengenakan pakaian batik. Sebuah ekspresi kebanggaan atas bangsa ini, yang bisa dilihat dengan kasat mata. Dibumbuhi dengan tari-tarian tradisional, pencak silat, lagu-lagu, pembagian hadiah, pidato, komentar, pertanyaan serta makanan ala Indonesia. Semuanya tersaji dalam kemasan cantik sebagai hasil kerja sama Indonesian Nurses.

Sekitar 100 orang hadir, tidak terkecuali Kedubes RI di Doha. Barangkali terhitung sedikit. Namun lewat yang seratus ini, nama baik kita mulai direnda, bisa membahana, menembus ratusan bahkan bisa ribuan lainnya tentang kiprah professional kita di luar negeri. Apa lagi yang bisa dibanggakan jika bukan kemampuan intelektual profesi saat harus bergaul dalam forum multinasional seperti ini?



Untuk menyebut Indonesia kaya raya, saya tidak mampu karena pendapatan perkapita kita di bawah banyak negara. Tidak usah dibandingkan dengan Qatar, negara kecil yang kaya ini. Boss saya yang orang asli Qatar, sempat memuji penyelenggaraan acara ini, meski beliau berhalangan datang. Demikian pula rekan kerja seorang Qatari lady. Apalagi jika saya harus bandingkan acara-acara seperti ini dengan kiprah nurses dari negara-negara lain, tidak terkecuali India serta Filipina. Saya yakin this is the first of such program. Kita mampu bersaing!

Mewakili rekan-rekan Indonesian Nurses yang tinggal dan bekerja di Qatar, khususnya Panitia Penyelenggara, nun jauh di Timur Tengah sana, tidaklah berlebih, sekiranya kami, di tengah derita sebagian rakyat Indonesia yang tertimpa musibah Merapi dan Tsunami, kami katakan bahwa inilah bagian dari ekspresi cinta kami selain sebagai penyumbang devisa negara terhadap Indonesia. Bahwa ‘Kami Cinta Indonesia’, bukan bualan. Bahwa kami bukan hanya mencari uang harta, tapi turut pula berjuang menebar harum namamu di teras Internasional. Setidaknya dalam ruang profesi kami: nursing!



Doha, 30 October 2010

Shardy2@hotmail.com





Friday, October 29, 2010

SHOLAT DHUHA YUK...

Setiap pagi setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sadhaqah; maka setiap tasbih adalah sadhaqah, setiap tahmid adalah sadhaqah, setiap tahlil adalah sadhaqah, setiap takbir adalah sadhaqah, amar ma’ruf adalah sadhaqah, mencegah kemungkaran adalah sadhaqah, tetapi dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut” (HR Muslim).




Tuesday, August 24, 2010

Ramadhan ketiga di Negeri Oryx

Oleh Sugeng Riyadi Bralink

Hari ini memasuki hari ke-14 di bulan suci ramadhan 1431H. Alhamdulillah karena masih diberi kesempatan menikmati sepertiga kedua bulan ramadhan yang penuh maghfirah. Hari-hari yang menawarkan ampunan bagi siapa saja yang ikhlas beribadah dibulan ini. Ikhlas tanpa mengahrap pujian sesama namun hanya berharap keridhaan Ilahi Rabbi.



Awal ramadhan kali ini bertepatan dengan 11 Agustus 2010M. Satu masa yang bertepatan dengan musim panas. Dalam istilah barat-nya disebut Summer.
Masa-masa yang membutuhkan perjuangan yang lebih untuk bisa melalui ramadhan kali dengan sempurna. Bagi sebagian kami yang bekerja pada sebuah perusahaan minyak bukanlah sebuah hambatan yang berarti. Karena kami lebih banyak bekerja didalam ruangan yang notabene bermesin penyejuk ruangan atau Air Conditioner.
Namun hal ini berbeda cerita dengan para pekerja kontraktor yang banyak dari mereka bekerja di area konstruksi jalan, taman dan perumahan karyawan.

Pagi buta sehabis sholat subuh sekira jam empat, mereka para karyawan kontraktor harus segera berkemas menunggu bis karyawan. Sebuah bis keluaran India bermerk TATA setia menemani awal hari mereka. Menembus fajar yang baru menyingsing menelusuri jalanan aspal menuju tempat mereka bekerja. Terkadang pagi hari sudah diselimuti kabut hangat nan lembab. Dalam bahasa baratnya mereka sebut suasana yang Humid. Satu kondisi dimana kelembaban udara sangat tinggi yang bisa mencapai 80 persen. Bisa digambarkan yang pernah saya alami sendiri. Berjalan saja sekitar 20 meter saja keringat sudah bercucuran. Apalagi kalau para kontraktor ini bekerja berat membuat galian, mengangkat material ataupun pekerjaan lainnya yang sungguh sangat bagi mereka.

Bagi mereka yang non-muslim bukanlah masalah. Mereka masih bisa terus mengganti suplai cairan tubuhnya yang hilang terperas oleh panasnya musim summer atau lembabnya udara yang sangat. Namun bagi sebagian mereka yang kebanyakan dari pakistan adalah penganut muslim yang taat. Meraka harus berjuang extra agar puasa mereka bisa berjalan sampai saat berbuka.

Ini bisa menjadi pelajaran bagi kita yang bekerja di dalam ruangan yang berpendingin. Menjadikan hal ini sebagai satu hal untuk membangkitkan kepedulian kita kepada kaum yang kurang mampu atau kaum yang lebih susah dari kita sekarang. Tentu nasib mereka masih lebih baik dibanding dengan kawan-kawan mereka yang masih menganggur di negara mereka atau di negara-negara lain yang bernasib sama. Negara yang masih berkembang, berjuang mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan.

Beralih dari keprihatinan saudara-saudara kita yang bekerja dibawah teriknya mentari gulf country. Ada beberapa kisah-kisah ramadhan di qatar yang mungkin bisa dijadikan contoh oleh negara lain yang belum menerapkannya. Pertama adalah mengenai jam kerja. Sudah menjadi aturan pemerintah negeri yang kaya minyak dan gas ini, bahwa setiap memasuki bulan ramadhan maka jam kerja para karyawan hanyalah 5 jam per hari, lebih dari itu maka akan dibayar lembur atau overtime. Ya mungkin hal ini nantinya bisa menggantikan THR seperti layaknya kita dapat di Indonesia.

Kisah lainnya yaitu betapa negara Qatar ini menghormati bulan ramadhan. Dibawah komando Awqaf (departemen agama-nya Qatar), menjadi aturan yang lazim bahwa sehabis azan maghrib akan diberikan jeda waktu sekira 15 menit untuk berbuka puasa sebelum nantinya didirikan sholat berjamaah di masjid-masjid seluruh qatar. Dari kota sampai pelosok negeri ini. Hal ini memberikan keleluasan umat islam yang berpuasa menikmati menu berbuka puasa.

Berbicara mengenai berbuka puasa di qatar ini. Saya yang tinggal di komplek perumahan karyawan perusahaan,mempunyai kebiasaan berbuka puasa bersama di beranda masjid. Menu buka puasa-pun sesuai apa yang disunnahkan Rasulullah SAW yaitu kurma. Atas kerelaan dari saudara-saudara kita sesama muslim di Dukhan (nama tempat saya tinggal, ada korma, air mineral, goreng2an (terong berbungkus terigu, wortel berbungkus terigu) irisan buah semangka atau melon, soup ala india, agar-agar ala indonesia, dan beberapa makanan ringan atau pembuka lainnya. Beberapa menit sebelum azan maghrib ada seorang berkebangsaan srilanka rela menyiapkan semuanya.

Digelarnya plastik panjang diatas karpet masjid kemudian disiapkan menu berbuka tadi. Sesaat kemudian banyak kulihat jamaah yang akan berbuka puasa bersama sebagian besar Indonesia. Kemudian kami duduk mengelilingi menu yang sudah disiapkan ini berdampingan dengan jamaah dari negara lain seperti oman, india, mesir, sudan, nigeria dan lainnya. Sungguh serasa nikmat berpuasa di negeri muslim ini.

Masih menyambung dengan kebiasaan berbuka puasa bersama selama ramadhan. Setiap tahunnya dari pihak pemerintah juga akan mendirikan tenda-tenda buka puasa bersama dibeberapa tempat diseleuruh negeri. Tenda-tenda ini dibeut dengan Tenda Ifthar and Lesson. Walaupun tenda namun dilengkapi dengan mesin pendingin ruangan. Sehingga memberikan kenyamanan bagi jamaah yang berbuka. Seperti tahun ini tepat tanggal 20 Agustus diadakan buka bersama komunitas Indonesia dan Srilanka di AL Ahli sports Hall di Doha. Acara ini diprakarsai oleh Syeikh Thani Foundation. Sebagai satu ajang mempererat tali silaturahmi antara pemerintah dan warganya. Dan demi menggelorakan syiar islam.

Disisi lain tentang penentuan awal ramadhan. Kalau di Indonesia, awal ramadhan akan diumumkan oleh Departemen Agama RI dan disiarkan melalui televisi atau media elektronik lainnya beberapa saat setelah dilakukan sidang Itsbat. Kalau di negeri Oryx ini, dari Awqaf akan menyampaikan pesan langsung kepada para Imam Masjid seluruh Qatar melalui SMS beberapa saat setelah sholat Isya. Kalau memang esok hari-nya awal puasa, maka diwaktu ba'da sholat isya akan ada pesan singkat dari Awqaf yang isinya diterjemahkan kurang lebih demikian. Marhaban ya ramadhan.Alhamdulilah kita sudah memasuki bulan ramadhan. Bulan yang mulia dan bulan yang barokah. Maka kita akan mulai tarawih malam ini. Kemudian sang Imam akan menyampaikan pesan selamat kepada para jamaah karena telah memasuki bulan suci ini.Ramadhan kareem, Ramadhan Mubarak.

Hal lainnya yang menjadi spesial seputar ramadhan di qatar adalah mengenai perubahan aktifitas sehari-hari. Hari-hari diluar bulan ramadhan menjadi suatu yang biasa ketika siang menjadi ramai ketimbang malam hari. Namun ketika ramadhan datang, maka siang hari di negeri ini menjadi tidak begitu ramai atau boleh dibilang sepi. Kebanyakan kita disini akan banyak keluar sehabis berbuka hingga dini hari. Boleh dibilang siang jadi malam dan malam pun jadi siang.Mall-mall pun buka sampai jam 2 dini hari. Kendaraan berseliweran di jalanan khusunya memasuki waktu ba'da shalat tarawih. Suasana lalu lintas menjadi sangat padat. Terutama di pusat-pusat perbelanjaan.

Demikian sedikit kisah ramadhan di qatar. Semoga memberikan inspirasi ramadhan. Menjadikan diri kita semakin bertaqwa. Semakin mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Semoga pula kita masih dipertemukan dengan ramadhan tahun depan.
Sekali lagi ramadhan kareem ramadhan mubarak.Kullu wantum bikhoir.





Saturday, July 10, 2010

Tangisan terakhir

Oleh Asep Hermawan Sanudin


Kedatangan Satria di kampung kelahirannya jam tiga dini hari disambut nenek dan kakek yang sudah renta. Tampak wajah kedua manula itu berseri-seri menyambut kedatangan cucunya dari tanah rantau, yang sudah lama tidak bersua. Satria ditemani istri tercintanya masuk ke rumah sederhana itu. Satria mencium tangan kakek dan nenek yang kulitnya keriput telah dimakan usia.



Esoknya, nyanyian burung di pohon belimbing seolah menyambut kebahagiaan keluarga kakek Hadma. Suara ramai orang di kala pagi menyibukan kegiatan mereka ke pasar dan ke sawah. Tatkala kedamaian di sebuah desa sederhana penuh dengan kehangatan orang-orang yang saling menyapa.

Pagi yang cerah itu, Satria disuguhi makanan kesukaan pisang goreng. Sembari bercerita ria tentang pengalaman di perantauan, dia dikelilingi saudara sekitarnya. Tak ketinggalan, kakek Hadma dan nenek Minah pun ikut nimbrung mendengarkan. Tampak sekali kebahagiaan di mata kedua orang itu. Mereka tak sia-sia membesarkan Satria dan mendidiknya. Kini, mereka merasa bangga melihat kesuksesan cucunya.

Waktu pun berjalan cepat. Tak bisa lama-lama lagi di kampung tercinta, karena istri Satria juga perlu diantar ke kota kelahirannya yang berjarak kurang lebih tiga jam dari kampung itu. Setelah berpamitan kepada keluarga, Satria beserta istri pun pergi.

Kakek dan nenek itu melepas kepergian cucunya yang baru saja datang.
‘’Masih kangen rasanya sama cucuku’’ ujar nenek Minah.
‘’Nggak apa-apa, Satria pasti ke sini lagi’’ tukas kakek Hadma.
*****

Satria kecil diasuh dan dibesarkan nenek Minah beserta kakek Hadma. Kedua pasangan itu mempunyai dua anak perempuan. Esih dan Elis. Mereka mendambakan seorang anak laki-laki tetapi tidak juga dikaruniai. Satria terlahir dari Esih. Ketika masih bayi sekitar tujuh puluh limar hari, Satria tidak mau menyusu dan terus menangis. Tapi, kalau digendong dan dininak bobokan nenek Minah, Satria merasa nyaman. Akhirnya, Satria kecil diboyong ke kampung.

Meski statusnya hanya sebagai cucu, nenek Minah menyayangi Satria melebihi kasih sayang kepada anak-anaknya. Tak jarang jika ditanya orang, sering dibilang Satria anak bungsunya. Tak heran jika dia diperlakukan sebagai anak emas.
Satria memang merasakan kasih sayang nenek Minah dan kakek Hadma sangat spesial dibanding dengan cucu-cucu yang lainnya. Pernah nenek Minah bilang bahwa Satria itu bak anaknya sendiri, hanya tidak keluar dari rahimnya.

Saking sayangnya, rumah dan sebidang tanah yang mereka tinggali begitu saja dihibahkan kepada Satria yang kini telah dewasa. Tapi, sayangnya ketika ikrar pemberian tanah dan rumah itu tidak melibatkan Elis.

Mendengar kabar bahwa rumah telah diberikan cuma-cuma kepada Satria, Elis merasa iri. Kenapa mewariskan harta bukan langsung kepada anaknya, malahan ke cucu. Ini yang menyulut kemarahan bibi Satria. Pernah suatu hari Elis beserta Dadang suaminya memarahi nenek Minah dan kakek Hadma atas perkara itu. Dengan tenang kedua orang tua itu menjawab,

‘’Ini kan rumah dan tanahku, selama aku hidup terserah mau dikasihkan kepada siapapun. Tak ada orang yang bisa menghalangi keputusanku. Bukankah sawah dan kebunku sudah kujual demi menebus utang-utangmu ke rentenir dulu? ‘’ tandas kakek Hadma.

‘’Lagipula, rumah ini tidak semua diberikan ke Satria. Papilyun kecil ini buatmu’’ tambah nenek Minah.
Dadang, suami Elis menimpali perkataan mertuanya.

‘’Kalau begitu caranya, cucumu yang lain pun berhak mendapatkan warisan. Bukankah warisan itu harus diberikan kepada yang haknya? Sebelum ke cucu, harus ke anak dulu! Itu sepatutnya!’’ hentaknya sambil bersungut-sungut.

‘’Ini bukan warisan, ini memberi seperti hadiah. Apa salahku memberikan harta terhadap cucu?’’ kakek Hadma balik berargumen.
Tidak puas menerima keputusan yang dirasa tidak adil itu, Elis langsung hengkang beserta suaminya.

Setelah tiga hari kepergian Satria, tiba-tiba nenek Minah jatuh pingsan. Semua keluarga dan tetangga panik. Seorang petugas kesehatan didatangkan dan dinyatakan dia terkena tekanan darah tinggi dan perlu dirujuk ke Rumah Sakit Umum (RSU) terdekat. Untungnya ada tetangga yang memboyong nenek Minah menggunakan mobil sayur ke RSU. Jangan harap ada fasilitas ambulance gawat darurat yang gratis di pelosok desa.

Sesampai di RSU, kakek Hadma yang hanya berpendidikan SD itu mendatangi bagian Resepsionis Instalasi Gawat Darurat (IGD). Dia mengacung-ngacungkan Kartu Tanda Pengenal kepada pihak RSU, supaya istrinya segera dirawat. Petugas acuh tak acuh, karena prinsip mereka ada uang anda dilayani. Setelah menunggu satu jam, salah satu cucunya yang bertempat tinggal dekat dengan RSU itu datang. Dengan membawa sejumlah uang, akhirnya nenek Minah bisa dirawat.

Satria mendapat kabar dari adiknya yang mengantar ke IGD bahwa neneknya masuk RSU. Dia segera berpamitan kepada mertua dengan maksud meluncur ke rumah sakit. Di perjalanan menuju RSU, tanpa terasa air mata Satria menetes teringat akan jasa-jasa nenek Minah terhadap dirinya.

Semasa enam tahun, Satria dikenal si pembuat onar karena tingkahnya yang dianggap kerap mengganggu teman sebaya. Suatu hari, Satria duduk di depan rumah melihat anak tetangga yang berjalan membawa sekantung minyak goreng.

‘’Apa itu di kantung plastik, Titin?’’ tanya Satria kecil mendekat.
‘’Minyak goreng, ang1’’ jawab anak kecil berusia lima tahun itu.
Tanpa basa basi lagi, sekantung minyak goreng ditepis Satria sehingga tumpah ke jalanan. Titin menangis dan mengadu ke orang tuanya. Satria menyeringai melihat kejadian tadi. Emaknya Titin langsung memaki-maki sambil menunjuk Satria kecil. Mulut Satria mencibir dan menunggingkan pantatnya seraya mengolok ibu yang sedang naik pitam itu.

Kejadian yang lain, Satria kecil suka main sumpit. Suatu sa’at dia melihat seekor burung bertengger di pohon mangga. Sumpit diarahkan ke burung tapi anak sumpitnya tidak mengena. Setelah putus asa mengejar burung yang telah terbang, Satria melirik seekor ayam dekat pohon pisang yang sedang mencari makan. Dia langsung memasukan anak sumpit dan meniupkannya tepat di tembolok ayam. Ayam langsung kesakitan dan Satria pun pergi. Sorenya, nenek Minah dan kakeh Hadma mendapat kiriman daging ayam dari tetangga.

‘’Kenapa ayamnya disembelih? Kena tetelo2?’’ tanya nenek Minah.
‘’Ayamnya ada yang nyumpit orang, untung masih kelihatan sekarat jadi bisa disembelih’’ ujar tetangga tadi.

Suatu hari, Satria bermain korek api milik kakek Hadma. Entah bagaimana pikirannya, dia langsung menyulut kasur milik nenek Minah di ruangan tengah rumah. Setelah menyulutnya, Satria dengan wajah polos memberitahu kakek Hadma yang sedang berada di belakang rumah. Kasurnya dibakar. Dengan tergesa-gesa kakek Hadma dan nenek Minah langsung mengambil air memadamkan kasur yang sedang dilahap api.
Banyak sekali ulah Satria kecil yang dianggap menjengkelkan para tetangga. Walaupun begitu, nenek Minah selalu mengatakan Satria anak yang baik. Dia sering membelikan buku merek Leces dan spidol supaya Satria betah tinggal di rumah. Berbekal buku Leces, Satria sering menggambar. Tidak hanya gemar menggambar di buku saja, tapi juga suka menggambar di dinding rumah.

Jika dibawa ke pasar, Satria akan jongkok dan mematung melihat mobil-mobilan di toko mainan. Dia tidak akan beranjak, kalau nenek Minah tidak membelikan mobil-mobilan yang ditunjuk Satria.

1ang: panggilan kakak laki-laki (abang) di suku Sunda.
2tetelo: nama penyakit ayam.


Semasa SD, Satria sering bermain gundu dan karet gelang. Adakalanya, kawan sebaya yang sering curang dan mengambil gundu milik Satria. Bocah kutil itu langsung terlibat adu mulut dan akhirnya beradu pukul. Di kampung perkelahian antar anak malah sering jadi tontonan. Satria memukul Eli yang berbadan bongsor. Karena perbedaan postur, akhirnya Satria telak dan bibirnya jontor kena hunjaman pukulan. Satria langsung menangis dan pulang. Terlihat nenek Minah yang sedang menyapu halaman belakang.

‘’Ada apa?’’ tanyanya.
‘’Kelahi sama si Eli, marahin dia mak!’’ Satria sambil menangis.
‘’Tak usah, nak. Ntar juga kamu baikan lagi. Kamu tak boleh dendam. Besok main lagi sama dia ya?’’ tandas nenek Minah.
Lamunan Satria buyar ketika kondektur bus itu berteriak,
‘’Persimpangan RSU...!!’’.

Satria langsung turun di perempatan RSU, dan naik ojek menuju ke IGD Rumah Sakit di daerah tersebut. Setelah tiba, dia langsung menemui nenek Minah yang kelihatan berbaring di tempat tidur ruangan gawat darurat.
Satria langsung mendekati sambil memegang tangan nenek Minah.

‘’Emak minta ma’af’’ suara nenek Minah pelan.
‘’Iya, sama-sama. Insya Allah emak akan sembuh seperti sediakala lagi’’ tukas Satria.

Kemudian salah seorang petugas memberitahu bahwa nenek Minah perlu dirawat inap. Kantung mata nenek Minah keriput dimakan usia. Rambutnya sudah memutih, dan gigi geliginya sudah tanggal. Tubuhnya hanya bisa terbaring lemas di bangsal penyakit syaraf. Dokter mendiagnosa nenek itu dengan stroke, salah satu penyakit terminal usia lanjut yang mematikan. Ketambah lagi otaknya mengalami perdarahan setelah dipastikan melalui CT-Scan.

Kehadiran Satria, kakek Hadma dan Esih anak perempuannya yang pertama menjadi pemacu nenek Minah untuk sembuh kembali. Rombongan keluarga dari istri Satria berdatangan membesuk keadaan nenek Minah yang kini masih terbaring lunglai. Dia hanya bisa makan dengan menggunakan sebuah selang yang dimasukan dari hidung. Oksigen dengan alat monitor masih terpasang.

Hampir setengah bulan dia dirawat. Elis tak kunjung datang menjenguk, karena alasan banyak urusan. Seolah, tak mau mengurusi ibu kandungnya. Setelah perawatan intensif, dokter spesialis penyakit syaraf memperbolehkan nenek Minah untuk pulang dengan rawat jalan.

Kondisi nenek Minah semakin hari semakin terpuruk. Rasa pusing dan perdarahan di otaknya membuat dia mempunyai gangguan berbicara dan tak bisa jalan. Dalam kurun satu tahun dia sering masuk dan keluar rumah sakit. Walaupun demikian, nenek Minah tetap semangat dan masih mendambakan cicit dari Satria.

Setahun perantauan, Satria pulang kampung. Terlihat nenek Minah semakin rapuh, jalannya digusur dan tubuhnya semakin kurus. Suaranya semakin dalam dan kurang jelas. Tapi, tatapan matanya masih bersinar tatkala melihat kedatangan cucunya.
Tak terasa, hampir sebulan Satria beserta istri menghabiskan waktu liburan di kampung yang bersahaja dan penuh kehangatan. Sa’atnya dia kembali lagi ke tempat perantauan. Ketika berpamitan, nenek Minah tak seperti biasanya memegang tangan Satria dengan erat dan menangis terisak-isak. Seorang tetangga, berusaha menghibur nenek Minah sambil merangkulnya.

‘’Satria akan kembali, tak usah bersedih’’ perempuan setengah baya itu berusaha untuk menghiburnya.

‘’Mak, Satria pamitan dulu ya. Insya Allah kita akan ketemu lagi. Semoga emak panjang umur’’ Satria sembari mencium tangan neneknya.
Nenek Minah beserta kakek Hadma melepas kepergian cucunya dengan air mata berlinang dan melambaikan tangan.

Satria sering memonitor kesehatan nenek Minah, dengan menanyakan kepada ibu dan adik-adiknya. Hari demi hari kondisi nenek Minah semakin terpuruk. Akhir-akhir ini dia sudah tidak bisa jalan. Suaranya sudah tidak jelas, akibat penyakit stroke yang dialami.

Anak perempuan yang pertamanya Esih, ibunya Satria sangat telaten merawat nenek Minah. Tiap hari memandikan, menyuapi makanan dan menungguinya di rumah.
‘’Aku ingin sembuh dan panjang umur supaya bisa melihat Satria membawa cicit kemari’’ ujarnya.

Di perantauan seusai shalat Jum’at, Satria pulang ke rumah. Didapati istrinya terdiam.

‘’Ada apa?’’ tanyanya.
‘’Mas jangan bersedih ya, ada berita duka dari kampung. Nenek Minah meninggal’’ jawab istri Satria.

‘’Inna lillahi wainna ilaihi roojiu’un’’ Satria berkaca-kaca.
Langsung seketika dia menghubungi keluarganya. Memang benar nenek Minah telah tiada. Segenap keluarga memohonkan ma’af atas segala kesalahannya, dan Satria pun mendo’akan supaya arwah almarhumah diampuni dan Satria berpesan supaya keluarga yang ditinggalkan supaya tabah. Terdengar suara kakek Hadma parau ditelepon. Dia terisak-isak berduka karena pasangan hidup telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Satria langsung teringat ketika dia berpamitan untuk pergi merantau, nenek Minah terisak-isak dan memegangi tangannya erat sekali tidak seperti biasa. Ternyata, itu adalah tangisan terakhir nenek Minah bertemu cucu tercintanya.

‘’Mas, sedih?’’ tanya istrinya.
‘’Iya, tapi kita harus menerima taqdir-Nya. Kita tidak akan tahu kapan dan di mana kita akan meninggal. ‘’ tukas Satria.
Ada suka dan ada duka. Ada yang pulang dan ada juga yang datang. Nenek Minah telah pulang selamanya, membawa duka yang mendalam di hati Satria karena tidak bisa menyaksikan detik-detik terakhir dan tidak bisa mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir nenek tercintanya. Nenek Minah tidak bisa menyaksikan cicit yang sedang dikandung istri Satria sekarang.

‘’Ya Allah, ampuni segala dosa nenek Minah binti Mustawi, terimalah segala amal kebajikannya, luaskan dan terangkanlah di alam kuburnya. Semoga dipertemukan di surga Firdaus nanti’’ Satria di dalam do’anya sambil meneteskan air mata.

TAMAT
Qatar, 10 Juli 2010.
uploaded on July, 2010 at 1800hrs waktu Dukhan