Wednesday, November 03, 2010
INNA-Q Professional Meeting 2010
Aku Cinta Indonesia
Oleh Syaifoel Hardy
Semula saya putuskan tidak bakal menghadiri acara amat penting dalam kehidupan profesi saya di Qatar selama tiga tahun lebih ini, lantaran kondisi kesehatan badan yang kurang memungkinkan. Ya, sudah tiga hari terakhir ini agak terganggu. Ada rasa ‘bersalah’ jika tidak datang nanti. Begitu bisik hati ini. Makanya, dengan berbekal semangat, meski tidak seluruh acara bisa saya ikuti, meluncur juga tubuh ini ke program yang, jujur saja, sangat saya nanti-nantikan, di sebuah hotel di kota Doha.
Professional Meeting namanya. Sejatinya, acara ini dilatar-belakangi acara Musyawarah Cabang (Muscab) Indonesian National Nurses Association-Qatar (INNA-Q), dalam rangka peralihan kepemimpinan periode satu ke kedua, tahun 2010-2012. Agar tampak lebih dinamis, ‘judul’ nya kami ‘modifikasi’. Modifikasi judul ini ternyata membuat banyak hal berubah. Mulai dari susunan acara, undangan, pembicara, topik, tempat penyelenggaraan, hingga tentu saja biaya.
Saya datang terlambat. Maklum, sedianya memang tidak hadir. Lagi pula berangkatnya juga numpang mobil rekan kerja. Sekitar 45 menit sudah lewat ketika sampai di hotel. Yang penting, acara inti tidak ketinggalan. Begitu pikiran saya. Ringkasnya, saya bisa mengikuti sebagian besar acara dengan serius.
Tulisan ini merupakan bagian dari refleksi diri terhadap performance of the Indonesian Nurses in Qatar.
Saya kagum dengan ulasan lengkap yang disampaikan oleh Ms. Martinez, asal Filipina, Pembicara Tamu kita pagi tadi yang menyampaikan: Challenges of Nurses in the World of Healthcare Services. Kupasannya menyangkut peran nurses dalam skala internasional, tentangan serta rekomendasi. Apa yang beliau sampaikan intinya memberikan dorongan semangat kepada nursing professional untuk tetap maju meniti karir ini, sebagai sebuah pilihan yang tepat. Bukannya penyesalan.
Lantas mengapa saya kaitkan hal ini dengan Aku Cinta Indonesia? Banyak orang kita yang memandang nurses dengan sebelah mata. Kita yang sedang bekerja di luar negeri, dicap hanya sebagai pekerja yang kurang cinta Tanah Air. Hanya mencari dollar, memburu Dirham atau Riyal.
Cinta artinya sangat luas. Begitu luasnya arti cinta, hingga membuat orang Asia umumnya, segan jika terus terang harus mengatakan dengan lisan. Utamanya lewat tatap muka. Jangankan dengan orang lain. Orangtua ke anaknya saja, di negeri kita, jarang kita mendengar kata-kata ini. Barangkali alasan yang paling kuat mengapa hal ini tidak terjadi adalah karena rasa ‘tabu’. Tabu mengatakan ‘aku cinta kamu’. Kecuali dalam film-film nasional kita, yang diobral kata-kata ini semurah-murahnya, sehingga terkesan tidak lagi ada harganya.
Mengemas acara Professional Meeting di antara profesi kami di Qatar dengan melibatkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain bukanlah persoalan mudah. Apalagi sepele. Sementara orang berpikir bahwa membuat acara seperti ini yang penting ada duit, semua bisa terwujud. Tidak saya pungkiri, benar! Tapi banyak hal-hal yang tidak bisa dibayar dengan uang: rapat, persetujuan anggota atau team, pembentukan panitia serta kesuka-relaan mereka dalam kerja, dan kesungguhan dalam pencapaian tujuan. Singkatnya: team work, di mana semua ini harus dibayar mahal. Sangat mahal!
Sekitar tiga bulan sebelum acara dilaksanakan, komunikasi lewat email, telefon dan berbagai repat kecil sudah dilakukan. Tarik-ulur tentu terjadi. Setuju dan tidak setuju bukan hanya monopoli anggota DPR. Masing-masing memiliki argument tersendiri. Tapi komitmen anggota inti sama: sepanjang yang bakal dilaksanakan nanti itu baik untuk anggota dan mendongkrak reputasi profesi, jalan terus. Saya membaca, dukungan yang sangat sedikit sekali dari keseluruhan anggota. Macam-macam issue dan alasan yang masuk ke telinga ini.
Mundur? Tidak juga. Tim dibentuk. Yang hadir waktu rapat? Hanya 5 orang. Jalan! Sekali lagi, jalan! “Hebat!” Begitu gumam saya dalam hati. Jangan pernah mundur hanya karena bisikan-bisikan, betapapun jumlahnya banyak. Selagi langkah ini berbuah positif, tetap optimis. Keringat, jangan diukur lelahnya, utamanya yang dialami oleh panitia inti. Kekuatiran saya sempat berlapis-lapis, membayang-bayangi optimisem dalam merealisaikan rencana akbar ini.
Rapat makin intensif dilaksanakan, dihadiri oleh hanya orang itu-itu saja. Dari dulu. Sebenarnya ada rasa kesal juga. Tapi sampai kapan? Tidak menyelesaikan masalah. Kami bangkit. Agenda digelar dan jalan terus. Biarpun 4 orang, tapi jika kuat pilarnya, rumah akan bisa berdiri, ketimbang dua puluh tapi rapuh. Mulai dari kegiatan A hingga Z, diidentifikasi. Ini terjadi hingga satu hari sebelum Hari H.
Undangan disebar, Gladi resik digelar. Ah, lega rasanya. Semua anggota panitia wajib mengenakan pakaian batik. Sebuah ekspresi kebanggaan atas bangsa ini, yang bisa dilihat dengan kasat mata. Dibumbuhi dengan tari-tarian tradisional, pencak silat, lagu-lagu, pembagian hadiah, pidato, komentar, pertanyaan serta makanan ala Indonesia. Semuanya tersaji dalam kemasan cantik sebagai hasil kerja sama Indonesian Nurses.
Sekitar 100 orang hadir, tidak terkecuali Kedubes RI di Doha. Barangkali terhitung sedikit. Namun lewat yang seratus ini, nama baik kita mulai direnda, bisa membahana, menembus ratusan bahkan bisa ribuan lainnya tentang kiprah professional kita di luar negeri. Apa lagi yang bisa dibanggakan jika bukan kemampuan intelektual profesi saat harus bergaul dalam forum multinasional seperti ini?
Untuk menyebut Indonesia kaya raya, saya tidak mampu karena pendapatan perkapita kita di bawah banyak negara. Tidak usah dibandingkan dengan Qatar, negara kecil yang kaya ini. Boss saya yang orang asli Qatar, sempat memuji penyelenggaraan acara ini, meski beliau berhalangan datang. Demikian pula rekan kerja seorang Qatari lady. Apalagi jika saya harus bandingkan acara-acara seperti ini dengan kiprah nurses dari negara-negara lain, tidak terkecuali India serta Filipina. Saya yakin this is the first of such program. Kita mampu bersaing!
Mewakili rekan-rekan Indonesian Nurses yang tinggal dan bekerja di Qatar, khususnya Panitia Penyelenggara, nun jauh di Timur Tengah sana, tidaklah berlebih, sekiranya kami, di tengah derita sebagian rakyat Indonesia yang tertimpa musibah Merapi dan Tsunami, kami katakan bahwa inilah bagian dari ekspresi cinta kami selain sebagai penyumbang devisa negara terhadap Indonesia. Bahwa ‘Kami Cinta Indonesia’, bukan bualan. Bahwa kami bukan hanya mencari uang harta, tapi turut pula berjuang menebar harum namamu di teras Internasional. Setidaknya dalam ruang profesi kami: nursing!
Doha, 30 October 2010
Shardy2@hotmail.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment