Friday, November 05, 2010

Wednesday, November 03, 2010

Nursing Ethics: Menjaga Reputasi, Mempertajam Kompetensi

Oleh Syaifoel Hardy

Saya tidak mampu menahan diri ketika melihat sikap sejumlah perawat di sebuah rumah sakit di mana salah satu angggota keluarga saya dirawat. Ada semacam ‘protes’ kalau terlalu kasar bila disebut berontak terhadap apa yang terjadi. Mulai dari kanula yang tidak diganti sesudah satu pekan lebih, plaster basah yang menempel di atasnya, padahal itu sumber infeksi; pasien yang tidak dibantu kala mandi, catheter yang menggantung lebih dari seminggu padahal pasienya mobile, hingga informasi yang menjadi hak pasien serta keluarganya yang kurang mendapat perhatian. Jika dihitung, panjang sekali daftarnya.




Sebenarnya saya dalam posisi yang serba dilematis. Mau berkata langsung kepada perawat-perawat ini kuatir nanti dikatakan sebagai keluarga pasien yang cerewet. Namun jika tidak diberitahukan itu sama halnya membiarkan ‘kedhaliman’ berlangsung terus. Pada akhirnya saya harus berterus-terang, meski risikonya seperti yang saya sebut di atas.



Beberapa jawaban yang saya peroleh dari perawat jaga antara lain, mereka sibuk dan tenaga kurang. Dua alasan yang bagi saya kurang bisa diterima. Kalau memang sibuk, kok ya masih sempat-sempatnya mereka melihat televise yang terpajang di kantor di mana mereka bekerja. Kalau pun tenaga nya kurang, mereka toh memiliki departemen yang mengurusi ketenaga-kerjaan yang tentu saja mampu memperhitungkan perbadingan jumlah antara pasien-perawat per harinya.



Protes yang saya lemparkan sebenarnya bukan hanya kepada perawat jaga saja. Juga pada pihak administrasi RS. Alhamdulillah saya mendapatkan buahnya, meski belum maksimal. Itu saya rasakan karena dalam 5 bulan terakhir, kami mondar-mandir di RS yang sama, swasta, sebanyak empat kali. Saya pada akhirnya merasakan perubahan sikap sejumlah perawat jaganya Setidaknya pada kali terakhir kami ke sana. Itu lantaran kami berada di bangsal yang sama, sehingga menemui perawat yang tidak berbeda.



Yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah, betapa peranan nursing ethics yang terkait erat dengan reputasi dalam konteks keperawatan itu besar sekali. Ethics berperan besar dalam reputasi, baik individu maupun organisasi dalam skala yang lebih besar dapat dimanfaatkan untuk mempertajam kompetensi profesi keperawatan. Mengenal peran reputasi dari sudut pandang nursing ethics diharapkan dapat merubah mind set professional dari teori ke praktis.



Etika sebagai Fondasi



Di bangku kuliah, nursing students diajarkan nursing ethics. Implementasi etika di sini mestinya menjadi sorotan selama menempa pendidikan. Namun begitu, semua sadar dan memahami bahwa faktor kurikulum, kompetensi dosen, minimnya referensi serta lingkungan memegang peranan besar, sehingga penempaan 3-4 tahun pendidikan belum bisa dijadikan panduan apalagi jaminan bahwa lulusan diploma/bachelor of nursing bakal lulus dengan etika yang baik.



Problematika besar dalam nursing ethics ini bila diurut sumber muasalnya adalah, nursing ethics diberikan sebagai mata kuliah yang bobotnya kecil. Bukan hanya itu! Mata kuliah yang mestinya dijadikan sebagai primadona nursing ini ditempatkan seperti halnya anak tiri. Statusnya tidak terintegrasi dengan mata-kuliah nursing lainnya. Akibatnya, begitu selesai diajarkan, nursing ethics tinggal sejarah.



Sementara itu, para dosen lebih disibukkan dengan pembuktian nursing sebagai ‘science’ ketimbang otak-atik ethics ini. Ethics posisinya benar-benar terpisah dari mata kuliah lain. Kita tidak bisa menyalahkan para dosen dalam hal ini karena minimya materi yang berbau ‘ethics’ dalam setiap mata-kuliah. Ini bisa dimungkinkan oleh minimnya penelitian tentang ethics dalam dunia nursing.

Coba saja kita bayangkan jika setiap mata kuliah, salah satu pendekatannya lewat ethics! Bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang belajar medical surgical nursing, psychology nursing, psychiatric nursing, pediatrics nursing misalnya, kaya akan ethics. Hasil akhirnya tentu bisa diramalkan. Wisudawan bakal ‘kenyang’ akan ethics. Pasar yang luas di luar menanti kedatangan professional yang beretika. Bukan hanya pintar pengetahuan serta terampil semata. PR besar para peneiliti nursing adalah bagaimana mengintegrasikan ethics dalam setiap mata kuliah profesi.



Reputasi adalah Kebutuhan dasar



Etika merupakan salah satu fondasi reputasi. Professional yang mampu menjaga reputasi atau nama baiknya, secara otomatis ber-etika baik. Sebaliknya, jika etikanya kurang, reputasi dipertanyakan.



Ada tiga kebutuhan dasar setiap insan professional: pengkayaan pengetahuan, sikap serta ketrampilan. Reputasi adalah nama baik. Seorang professional akan dapat mengembangkan ketiga kebutuhan tersebut dengan leluasa jika ditunjang dengan nama baik. Perolehan nama baik ini tidak datang begitu saja tanpa jerih payah. Kita akan mendapatkan nama baik sesudah berkarya, baik melalui sikap, atau tangan serta pikiran bila implementasinya berlandaskan ethics guna mempertahankan reputasi.



Kita lihat di Indonesia banyak sekali perawat yang berhasil secara finansial. Mereka ini, meski belum ada penelitian tentang itu, sebenarnya bukan para ahli yang bergelar doctor of nursing, apalagi professor. Mereka mampu ‘memenangkan’ dalam perang merebut hati konsumen pasar kesehatan. Mereka dapat meraup banyak pelanggan di lapangan karena reputasi mereka. Reputasi ini dapat direbut karena mereka mengedepankan etika bergaul dalam masyarakat, baik lewat jalur formal pada waktu kerja, semi formal saat ada pertemuan-pertemuan di masyarakat, atau non-formal ketika ada kontak antar individu.



Dalam pergaulan tersebut, yang dikembangkan oleh kolega kita adalah menanamkan kepercayaan pada individu-individu di masyarakat. Bahwa dengan bergaul bersama rekan-rekan kita yang membuka praktik, sepertinya para pelanggan bakal mendapatkan jaminan: hak-hak mereka sebagai inividu dijunjung, dihormati. Prinsip ini oleh para perawat kita yang berhasil dalam praktik keperawatannya jauh lebih dikedepankan ketimbang masalah kesehatan utama. Karena mengedepankan etika berarti mengutamakan kebaikan. Mengutamakan kebaikan berarti menanamkan kepercayaan. Jika kepercayaan sudah tergenggam, betapapun besar permasahan kesehatan yang dihadapi klien, bisa dicari jalan keluarnya. Maka dari itu, mereka yang mengedepankan etika dalam profesi bakal meraih reputasi. Sebaliknya, mereka yang membuka praktik keperawatan tanpa menggunakan etika sebagai fondasinya, tinggal menunggu saja kehancuran reputasinya.



Reputasi dan Kompetensi



Kompetensi adalah perpaduan hasil pendidikan formal, training, pengalaman kerja, sikap dan ketrampilan. Kompetensi dalam nursing itu unik. Unik karena dilandasi ethics. Ini berbeda sekali dengan profesi kesehatan lainnya yang menitik-beratkan kepada problem-solving based on physical findings (berdasar kepada temuan fisik). Tanpa dilandasi ethics, sebenarnya kompetensi kita dalam nursing diragukan pendekatannya.



Perawat ahli perawatan bedah, perawatan dalam, perawatan jiwa, perawatan anak dan lain-lain boleh mengedepankan ketrampilan, sikap serta pengetahuan spesialisasinya. Namun tanpa dasar ethics, bisa jadi dia skeptis akan profesinya. Mengedepankan persoalan ethics dalam kompetensi nursing ini secara tidak langsung bakal mampu mendongkrak reputasi profesi. Perawat Bedah yang handal bukan mereka yang mampu melakukan pembedahan jantung, ginjal atau kandung empedu. Perawat Anak yang mahir bukan hanya mereka yang mampu membuat takaran kebutuhan cairan bayi yang mengalami dehidrasi. Perawat yang handal adalah mereka yang mampu memenuhi kebutuhan pasien-pasien yang mengalami gangguan khusus di atas dengan mengedepan hak-hak pasien dari sudut pandang ethics.



Ketrampilan semacan ini tidak gampang diperoleh. Butuh waktu, tenaga dan kesungguhan. Kegagalan dalam pemberian pelayanan perawatan lantaran ketikamampuan perawat mengidentifikasi kebutuhan pasien bisa berakibat deteriorasi reputasi profesi. Inilah the essence of nursing (inti keperawatan).



Kesimpulan



Saya melihat banyak perawat yang bekerja ternyata salah persepsi tentang dunia kerja mereka. Kesalahan persepsi ini bisa menyebabkan frustrasi, karena kurang sadar akan jati diri. Lebih buruk lagi, yang jadi korban juga pasien beserta keluarganya. Guna menghindari permasalahan ini, mengedepankan peran ethics dalam kerja itu penting sekali. Karena ethics is the foundation of nursing. Memrioritaskan ethics dalam setiap tindakan keperawatan berarti meningkatkan reputasi profesi. Proses akselerasi ini secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya mempertajam kompetensi. Sebuah kata kunci yang menggiring kita dalam lingkaran kategori professional.



Doha, 11 October 2010

Shardy2@hotmail.com


INNA-Q Professional Meeting 2010





Aku Cinta Indonesia

Oleh Syaifoel Hardy

Semula saya putuskan tidak bakal menghadiri acara amat penting dalam kehidupan profesi saya di Qatar selama tiga tahun lebih ini, lantaran kondisi kesehatan badan yang kurang memungkinkan. Ya, sudah tiga hari terakhir ini agak terganggu. Ada rasa ‘bersalah’ jika tidak datang nanti. Begitu bisik hati ini. Makanya, dengan berbekal semangat, meski tidak seluruh acara bisa saya ikuti, meluncur juga tubuh ini ke program yang, jujur saja, sangat saya nanti-nantikan, di sebuah hotel di kota Doha.




Professional Meeting namanya. Sejatinya, acara ini dilatar-belakangi acara Musyawarah Cabang (Muscab) Indonesian National Nurses Association-Qatar (INNA-Q), dalam rangka peralihan kepemimpinan periode satu ke kedua, tahun 2010-2012. Agar tampak lebih dinamis, ‘judul’ nya kami ‘modifikasi’. Modifikasi judul ini ternyata membuat banyak hal berubah. Mulai dari susunan acara, undangan, pembicara, topik, tempat penyelenggaraan, hingga tentu saja biaya.

Saya datang terlambat. Maklum, sedianya memang tidak hadir. Lagi pula berangkatnya juga numpang mobil rekan kerja. Sekitar 45 menit sudah lewat ketika sampai di hotel. Yang penting, acara inti tidak ketinggalan. Begitu pikiran saya. Ringkasnya, saya bisa mengikuti sebagian besar acara dengan serius.

Tulisan ini merupakan bagian dari refleksi diri terhadap performance of the Indonesian Nurses in Qatar.

Saya kagum dengan ulasan lengkap yang disampaikan oleh Ms. Martinez, asal Filipina, Pembicara Tamu kita pagi tadi yang menyampaikan: Challenges of Nurses in the World of Healthcare Services. Kupasannya menyangkut peran nurses dalam skala internasional, tentangan serta rekomendasi. Apa yang beliau sampaikan intinya memberikan dorongan semangat kepada nursing professional untuk tetap maju meniti karir ini, sebagai sebuah pilihan yang tepat. Bukannya penyesalan.

Lantas mengapa saya kaitkan hal ini dengan Aku Cinta Indonesia? Banyak orang kita yang memandang nurses dengan sebelah mata. Kita yang sedang bekerja di luar negeri, dicap hanya sebagai pekerja yang kurang cinta Tanah Air. Hanya mencari dollar, memburu Dirham atau Riyal.



Cinta artinya sangat luas. Begitu luasnya arti cinta, hingga membuat orang Asia umumnya, segan jika terus terang harus mengatakan dengan lisan. Utamanya lewat tatap muka. Jangankan dengan orang lain. Orangtua ke anaknya saja, di negeri kita, jarang kita mendengar kata-kata ini. Barangkali alasan yang paling kuat mengapa hal ini tidak terjadi adalah karena rasa ‘tabu’. Tabu mengatakan ‘aku cinta kamu’. Kecuali dalam film-film nasional kita, yang diobral kata-kata ini semurah-murahnya, sehingga terkesan tidak lagi ada harganya.

Mengemas acara Professional Meeting di antara profesi kami di Qatar dengan melibatkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain bukanlah persoalan mudah. Apalagi sepele. Sementara orang berpikir bahwa membuat acara seperti ini yang penting ada duit, semua bisa terwujud. Tidak saya pungkiri, benar! Tapi banyak hal-hal yang tidak bisa dibayar dengan uang: rapat, persetujuan anggota atau team, pembentukan panitia serta kesuka-relaan mereka dalam kerja, dan kesungguhan dalam pencapaian tujuan. Singkatnya: team work, di mana semua ini harus dibayar mahal. Sangat mahal!

Sekitar tiga bulan sebelum acara dilaksanakan, komunikasi lewat email, telefon dan berbagai repat kecil sudah dilakukan. Tarik-ulur tentu terjadi. Setuju dan tidak setuju bukan hanya monopoli anggota DPR. Masing-masing memiliki argument tersendiri. Tapi komitmen anggota inti sama: sepanjang yang bakal dilaksanakan nanti itu baik untuk anggota dan mendongkrak reputasi profesi, jalan terus. Saya membaca, dukungan yang sangat sedikit sekali dari keseluruhan anggota. Macam-macam issue dan alasan yang masuk ke telinga ini.

Mundur? Tidak juga. Tim dibentuk. Yang hadir waktu rapat? Hanya 5 orang. Jalan! Sekali lagi, jalan! “Hebat!” Begitu gumam saya dalam hati. Jangan pernah mundur hanya karena bisikan-bisikan, betapapun jumlahnya banyak. Selagi langkah ini berbuah positif, tetap optimis. Keringat, jangan diukur lelahnya, utamanya yang dialami oleh panitia inti. Kekuatiran saya sempat berlapis-lapis, membayang-bayangi optimisem dalam merealisaikan rencana akbar ini.

Rapat makin intensif dilaksanakan, dihadiri oleh hanya orang itu-itu saja. Dari dulu. Sebenarnya ada rasa kesal juga. Tapi sampai kapan? Tidak menyelesaikan masalah. Kami bangkit. Agenda digelar dan jalan terus. Biarpun 4 orang, tapi jika kuat pilarnya, rumah akan bisa berdiri, ketimbang dua puluh tapi rapuh. Mulai dari kegiatan A hingga Z, diidentifikasi. Ini terjadi hingga satu hari sebelum Hari H.

Undangan disebar, Gladi resik digelar. Ah, lega rasanya. Semua anggota panitia wajib mengenakan pakaian batik. Sebuah ekspresi kebanggaan atas bangsa ini, yang bisa dilihat dengan kasat mata. Dibumbuhi dengan tari-tarian tradisional, pencak silat, lagu-lagu, pembagian hadiah, pidato, komentar, pertanyaan serta makanan ala Indonesia. Semuanya tersaji dalam kemasan cantik sebagai hasil kerja sama Indonesian Nurses.

Sekitar 100 orang hadir, tidak terkecuali Kedubes RI di Doha. Barangkali terhitung sedikit. Namun lewat yang seratus ini, nama baik kita mulai direnda, bisa membahana, menembus ratusan bahkan bisa ribuan lainnya tentang kiprah professional kita di luar negeri. Apa lagi yang bisa dibanggakan jika bukan kemampuan intelektual profesi saat harus bergaul dalam forum multinasional seperti ini?



Untuk menyebut Indonesia kaya raya, saya tidak mampu karena pendapatan perkapita kita di bawah banyak negara. Tidak usah dibandingkan dengan Qatar, negara kecil yang kaya ini. Boss saya yang orang asli Qatar, sempat memuji penyelenggaraan acara ini, meski beliau berhalangan datang. Demikian pula rekan kerja seorang Qatari lady. Apalagi jika saya harus bandingkan acara-acara seperti ini dengan kiprah nurses dari negara-negara lain, tidak terkecuali India serta Filipina. Saya yakin this is the first of such program. Kita mampu bersaing!

Mewakili rekan-rekan Indonesian Nurses yang tinggal dan bekerja di Qatar, khususnya Panitia Penyelenggara, nun jauh di Timur Tengah sana, tidaklah berlebih, sekiranya kami, di tengah derita sebagian rakyat Indonesia yang tertimpa musibah Merapi dan Tsunami, kami katakan bahwa inilah bagian dari ekspresi cinta kami selain sebagai penyumbang devisa negara terhadap Indonesia. Bahwa ‘Kami Cinta Indonesia’, bukan bualan. Bahwa kami bukan hanya mencari uang harta, tapi turut pula berjuang menebar harum namamu di teras Internasional. Setidaknya dalam ruang profesi kami: nursing!



Doha, 30 October 2010

Shardy2@hotmail.com