Sunday, November 14, 2010

"Persaudaraan" Para Sugeng

Kompas
Minggu, 14 November 2010 | 04:16 WIB

Oleh Budi Suwarna
Sejumlah orang bernama Sugeng membentuk komunitas Para Sugeng di Seluruh Dunia. Kegiatannya antara lain mencari tahu mengapa dulu orangtua mereka sampai menamai mereka Sugeng.



Media untuk orang-orang bernama Sugeng di seluruh dunia. Kalau Anda bernama Sugeng, jangan ragu untuk bergabung.” Kalimat itu tertulis di grup Facebook Para Sugeng.
Begitulah, lewat dunia maya ini sekelompok orang bernama Sugeng berusaha menghimpun Sugeng-Sugeng lainnya yang ada di dunia ini. ”Kayaknya ajaib banget bisa bertemu dengan banyak orang yang bernama sama. Paling nama belakangnya yang beda. Ada Sugeng Riyadi, Sugeng Jabri, Sugeng Riyanto, Sugeng Susilo, Drs Sugeng, Sugeng Widodo, Sugeng Priyono, Sugeng Wiyadi, dan masih banyak lagi,” kata Sugeng Wahyudi, salah seorang penggiat komunitas Para Sugeng, Rabu lalu di Jakarta.
Hingga pekan lalu, lanjut Sugeng Wahyudi, ada 800 orang bernama Sugeng yang telah bergabung dengan komunitas Sugeng. Ada yang bergabung lewat akun Facebook Sugeng Syndicate, milis Para Sugeng, dan milis Sugeng & Sugeng. ”Tetapi, kami mulai menyatukan semua milis Sugeng di akun Facebook Para Sugeng,” ujar Sugeng Wahyudi.
Anggota komunitas ini berasal dari berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Kebumen, Surabaya, hingga Malaysia dan Qatar. Profesinya mulai dari pengurus organisasi buruh, pembuat film, pengelola gedung pertemuan, ahli teknologi informasi, pegawai negeri, sampai pilot maskapai asing.
Meski di dunia nyata mereka belum tentu saling kenal, mereka aktif berkomunikasi lewat media sosial. Mereka mendiskusikan apa arti nama Sugeng, mengapa orangtua mereka dulu menamai Sugeng, dan apakah anggota komunitas ini juga ada yang menamai anak mereka Sugeng.
”Pokoknya absurd, tetapi seru banget,” ujar Sugeng Wahyudi yang berprofesi sebagai pembuat film.
Dari diskusi di dunia maya itulah persaudaraan para Sugeng itu terbentuk. Sugeng Wahyudi yang tinggal di Jakarta tidak akan kebingungan seandainya tersesat di Selangor karena di sana ada Sugeng Jabri yang siap menunjukkan jalan.
Sugeng Wiyadi yang tinggal di Kalasan, Yogyakarta, juga bisa bertukar pikiran dan informasi dengan Sugeng-Sugeng di kota lain. Ini membuat dia terharu. ”Saya dulu berpikir nama Sugeng itu ndeso, tetapi ternyata pengguna nama Sugeng itu banyak dan di antara mereka ada orang penting dan penentu kebijakan,” ujarnya.
Orang Malaysia
Sugeng mana yang pertama kali punya kesadaran membentuk komunitas Sugeng? Ternyata dia adalah Sugeng Jabri, warga negara Malaysia yang tinggal di Selangor. Syahdan, dia bingung mengapa di Malaysia hanya ada lima nama Sugeng yang tercantum di buku telepon negaranya.
Dia penasaran, lalu bertanya-tanya, ada berapa sebenarnya orang bernama Sugeng di seluruh dunia. Untuk mengetahui jawabannya, dia membuat milis Para Sugeng di Yahoogroup. Dia juga aktif mencari orang bernama Sugeng melalui jaringan pertemanan Friendster.
Sugeng Wiyadi bercerita, dia bertemu dengan Sugeng Jabri melalui Friendster pada tahun 2006. Awalnya, hanya ada 10 anggota komunitas ini. Sekarang dia yakin jumlahnya mencapai 1.000 orang yang terjaring melalui berbagai jenis sosial media.
Sejauh ini, kata Sugeng Wahyudi, anggota komunitas ini pernah ”kopi darat” di Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Indonesia Indah sebanyak dua kali. ”Wah seru banget, waktu ada yang memanggil nama Sugeng, semua peserta pertemuan nengok semua, ha-ha-ha.... Kami baru sadar kalau punya nama sama,” tambahnya.
Rencananya, komunitas ini akan bertemu untuk ketiga kalinya pada Desember mendatang di Yogyakarta. ”Ini akan menjadi semacam musyawarah nasional orang-orang bernama Sugeng,” ujar Sugeng Wahyudi.
Sugeng Wiyadi menambahkan, dia berharap setidaknya ada 100 Sugeng yang hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka akan menyusun AD/ART dan menunjuk pengurus komunitas Para Sugeng. ”Yang jelas ketuanya Sugeng, wakilnya Sugeng, bendaharanya Sugeng, korwilnya juga Sugeng, ha-ha-ha....”
Mengapa pakai menggelar munas segala? Sugeng Wahyudi mengatakan, dia ingin komunitas yang asyik ini punya arah ke depan dan bermanfaat buat para Sugeng di seluruh dunia. ”Kami tidak ingin ini menjadi sekadar komunitas ubyang-ubyung (tidak jelas arahnya),” katanya.
Dia juga bermimpi komunitas ini bisa menghimpun orang-orang bernama Sugeng sebanyak mungkin, termasuk tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh. ”Ada tiga orang yang kami incar untuk direkrut.”
Siapa saja?
”Pertama Luna Maya. Ternyata nama belakang dia Sugeng, lho. Tepatnya Luna Maya Sugeng. Kedua, Eros Djarot yang nama lengkapnya Sugeng Waluyo Djarot. Ketiga, Sugeng Sarjadi. Mudah-mudahan mereka mau bergabung,” kata Sugeng Wahyudi.
Kalau sudah ngumpul, lantas mau apa? Bikin partai?
”Enggaklah, Mas. Ini untuk menjalin persaudaraan saja. Sejak komunitas ini terbentuk, banyak orang bernama Sugeng menjadi saling mengenal. Sebagian istri Sugeng pun sekarang mulai menghimpun diri dalam sebuah komunitas,” ujar Sugeng Wahyudi.
”Namanya komunitas Sugeng’s Wife atau komunitas istri Mas Sugeng, ha-ha-ha...,” ujar Sugeng Wahyudi tergelak.


Wednesday, November 03, 2010

Nursing Ethics: Menjaga Reputasi, Mempertajam Kompetensi

Oleh Syaifoel Hardy

Saya tidak mampu menahan diri ketika melihat sikap sejumlah perawat di sebuah rumah sakit di mana salah satu angggota keluarga saya dirawat. Ada semacam ‘protes’ kalau terlalu kasar bila disebut berontak terhadap apa yang terjadi. Mulai dari kanula yang tidak diganti sesudah satu pekan lebih, plaster basah yang menempel di atasnya, padahal itu sumber infeksi; pasien yang tidak dibantu kala mandi, catheter yang menggantung lebih dari seminggu padahal pasienya mobile, hingga informasi yang menjadi hak pasien serta keluarganya yang kurang mendapat perhatian. Jika dihitung, panjang sekali daftarnya.




Sebenarnya saya dalam posisi yang serba dilematis. Mau berkata langsung kepada perawat-perawat ini kuatir nanti dikatakan sebagai keluarga pasien yang cerewet. Namun jika tidak diberitahukan itu sama halnya membiarkan ‘kedhaliman’ berlangsung terus. Pada akhirnya saya harus berterus-terang, meski risikonya seperti yang saya sebut di atas.



Beberapa jawaban yang saya peroleh dari perawat jaga antara lain, mereka sibuk dan tenaga kurang. Dua alasan yang bagi saya kurang bisa diterima. Kalau memang sibuk, kok ya masih sempat-sempatnya mereka melihat televise yang terpajang di kantor di mana mereka bekerja. Kalau pun tenaga nya kurang, mereka toh memiliki departemen yang mengurusi ketenaga-kerjaan yang tentu saja mampu memperhitungkan perbadingan jumlah antara pasien-perawat per harinya.



Protes yang saya lemparkan sebenarnya bukan hanya kepada perawat jaga saja. Juga pada pihak administrasi RS. Alhamdulillah saya mendapatkan buahnya, meski belum maksimal. Itu saya rasakan karena dalam 5 bulan terakhir, kami mondar-mandir di RS yang sama, swasta, sebanyak empat kali. Saya pada akhirnya merasakan perubahan sikap sejumlah perawat jaganya Setidaknya pada kali terakhir kami ke sana. Itu lantaran kami berada di bangsal yang sama, sehingga menemui perawat yang tidak berbeda.



Yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah, betapa peranan nursing ethics yang terkait erat dengan reputasi dalam konteks keperawatan itu besar sekali. Ethics berperan besar dalam reputasi, baik individu maupun organisasi dalam skala yang lebih besar dapat dimanfaatkan untuk mempertajam kompetensi profesi keperawatan. Mengenal peran reputasi dari sudut pandang nursing ethics diharapkan dapat merubah mind set professional dari teori ke praktis.



Etika sebagai Fondasi



Di bangku kuliah, nursing students diajarkan nursing ethics. Implementasi etika di sini mestinya menjadi sorotan selama menempa pendidikan. Namun begitu, semua sadar dan memahami bahwa faktor kurikulum, kompetensi dosen, minimnya referensi serta lingkungan memegang peranan besar, sehingga penempaan 3-4 tahun pendidikan belum bisa dijadikan panduan apalagi jaminan bahwa lulusan diploma/bachelor of nursing bakal lulus dengan etika yang baik.



Problematika besar dalam nursing ethics ini bila diurut sumber muasalnya adalah, nursing ethics diberikan sebagai mata kuliah yang bobotnya kecil. Bukan hanya itu! Mata kuliah yang mestinya dijadikan sebagai primadona nursing ini ditempatkan seperti halnya anak tiri. Statusnya tidak terintegrasi dengan mata-kuliah nursing lainnya. Akibatnya, begitu selesai diajarkan, nursing ethics tinggal sejarah.



Sementara itu, para dosen lebih disibukkan dengan pembuktian nursing sebagai ‘science’ ketimbang otak-atik ethics ini. Ethics posisinya benar-benar terpisah dari mata kuliah lain. Kita tidak bisa menyalahkan para dosen dalam hal ini karena minimya materi yang berbau ‘ethics’ dalam setiap mata-kuliah. Ini bisa dimungkinkan oleh minimnya penelitian tentang ethics dalam dunia nursing.

Coba saja kita bayangkan jika setiap mata kuliah, salah satu pendekatannya lewat ethics! Bisa dipastikan bahwa mahasiswa yang belajar medical surgical nursing, psychology nursing, psychiatric nursing, pediatrics nursing misalnya, kaya akan ethics. Hasil akhirnya tentu bisa diramalkan. Wisudawan bakal ‘kenyang’ akan ethics. Pasar yang luas di luar menanti kedatangan professional yang beretika. Bukan hanya pintar pengetahuan serta terampil semata. PR besar para peneiliti nursing adalah bagaimana mengintegrasikan ethics dalam setiap mata kuliah profesi.



Reputasi adalah Kebutuhan dasar



Etika merupakan salah satu fondasi reputasi. Professional yang mampu menjaga reputasi atau nama baiknya, secara otomatis ber-etika baik. Sebaliknya, jika etikanya kurang, reputasi dipertanyakan.



Ada tiga kebutuhan dasar setiap insan professional: pengkayaan pengetahuan, sikap serta ketrampilan. Reputasi adalah nama baik. Seorang professional akan dapat mengembangkan ketiga kebutuhan tersebut dengan leluasa jika ditunjang dengan nama baik. Perolehan nama baik ini tidak datang begitu saja tanpa jerih payah. Kita akan mendapatkan nama baik sesudah berkarya, baik melalui sikap, atau tangan serta pikiran bila implementasinya berlandaskan ethics guna mempertahankan reputasi.



Kita lihat di Indonesia banyak sekali perawat yang berhasil secara finansial. Mereka ini, meski belum ada penelitian tentang itu, sebenarnya bukan para ahli yang bergelar doctor of nursing, apalagi professor. Mereka mampu ‘memenangkan’ dalam perang merebut hati konsumen pasar kesehatan. Mereka dapat meraup banyak pelanggan di lapangan karena reputasi mereka. Reputasi ini dapat direbut karena mereka mengedepankan etika bergaul dalam masyarakat, baik lewat jalur formal pada waktu kerja, semi formal saat ada pertemuan-pertemuan di masyarakat, atau non-formal ketika ada kontak antar individu.



Dalam pergaulan tersebut, yang dikembangkan oleh kolega kita adalah menanamkan kepercayaan pada individu-individu di masyarakat. Bahwa dengan bergaul bersama rekan-rekan kita yang membuka praktik, sepertinya para pelanggan bakal mendapatkan jaminan: hak-hak mereka sebagai inividu dijunjung, dihormati. Prinsip ini oleh para perawat kita yang berhasil dalam praktik keperawatannya jauh lebih dikedepankan ketimbang masalah kesehatan utama. Karena mengedepankan etika berarti mengutamakan kebaikan. Mengutamakan kebaikan berarti menanamkan kepercayaan. Jika kepercayaan sudah tergenggam, betapapun besar permasahan kesehatan yang dihadapi klien, bisa dicari jalan keluarnya. Maka dari itu, mereka yang mengedepankan etika dalam profesi bakal meraih reputasi. Sebaliknya, mereka yang membuka praktik keperawatan tanpa menggunakan etika sebagai fondasinya, tinggal menunggu saja kehancuran reputasinya.



Reputasi dan Kompetensi



Kompetensi adalah perpaduan hasil pendidikan formal, training, pengalaman kerja, sikap dan ketrampilan. Kompetensi dalam nursing itu unik. Unik karena dilandasi ethics. Ini berbeda sekali dengan profesi kesehatan lainnya yang menitik-beratkan kepada problem-solving based on physical findings (berdasar kepada temuan fisik). Tanpa dilandasi ethics, sebenarnya kompetensi kita dalam nursing diragukan pendekatannya.



Perawat ahli perawatan bedah, perawatan dalam, perawatan jiwa, perawatan anak dan lain-lain boleh mengedepankan ketrampilan, sikap serta pengetahuan spesialisasinya. Namun tanpa dasar ethics, bisa jadi dia skeptis akan profesinya. Mengedepankan persoalan ethics dalam kompetensi nursing ini secara tidak langsung bakal mampu mendongkrak reputasi profesi. Perawat Bedah yang handal bukan mereka yang mampu melakukan pembedahan jantung, ginjal atau kandung empedu. Perawat Anak yang mahir bukan hanya mereka yang mampu membuat takaran kebutuhan cairan bayi yang mengalami dehidrasi. Perawat yang handal adalah mereka yang mampu memenuhi kebutuhan pasien-pasien yang mengalami gangguan khusus di atas dengan mengedepan hak-hak pasien dari sudut pandang ethics.



Ketrampilan semacan ini tidak gampang diperoleh. Butuh waktu, tenaga dan kesungguhan. Kegagalan dalam pemberian pelayanan perawatan lantaran ketikamampuan perawat mengidentifikasi kebutuhan pasien bisa berakibat deteriorasi reputasi profesi. Inilah the essence of nursing (inti keperawatan).



Kesimpulan



Saya melihat banyak perawat yang bekerja ternyata salah persepsi tentang dunia kerja mereka. Kesalahan persepsi ini bisa menyebabkan frustrasi, karena kurang sadar akan jati diri. Lebih buruk lagi, yang jadi korban juga pasien beserta keluarganya. Guna menghindari permasalahan ini, mengedepankan peran ethics dalam kerja itu penting sekali. Karena ethics is the foundation of nursing. Memrioritaskan ethics dalam setiap tindakan keperawatan berarti meningkatkan reputasi profesi. Proses akselerasi ini secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya mempertajam kompetensi. Sebuah kata kunci yang menggiring kita dalam lingkaran kategori professional.



Doha, 11 October 2010

Shardy2@hotmail.com