June 4, 2014 at 7:44am
Pak Umay, begitu orang menyebutnya dan begitu pula beliau ingin dipanggil atau disebut. Beliau nggak senang jika dipanggil pak ustadz apalagi kyai. Panggil saya Pak Umay saja, ungkap beliau semalam.
Sejak dalam kandungan ibunya yang masih berumur empat bulan, calon bayi Pak Umay ditinggalkan sang Ayah yang meninggal dunia.
Menjadi yatim sejak kecil bukanlah kemauannya. Yatim merupakan pilihan Allah yang akhirnya menjadikan Umay kecil menjalani hidup susah karena kemiskinan. Akan tetapi, kemiskinan tidak menyurutkan niatnya untuk terus belajar dan belajar.
Sepeninggal ayahnya, Ibunda Pak Umay harus merawat anak-anaknya yang masih kecil. Hidup sendirian dengan anak-anak tanpa adanya suami, menjadikan keseharian Ibunda Pak Umay dipenuhi dengan ibadah. Sholat tahajud menjadi amalan rutin disamping sholat lima waktu. Bahkan menurut kisah Pak Umay semalam, ibundanya menghiasi hari-harinya dengan tilawah Alqur-an.
Dalam waktu enam hari, terkadang sudah khatam 30 juz. Sungguh seorang Ibu yang luar biasa. Ditengah lemahnya ekonomi, beliau mengandalkan kekuatan do-a untuk mengasuh dan menjalani kehidupan bersama buah hatinya.
Kisah perjuangan untuk bersekolah Pak Umay bisa kita temui di blog-blog. Bahkan kisah hidupnya pernah ditulis menjadi skripsi mahasiswa sarjana strata satu UIN Jakarta, Khoerudin*. Skripsinya berjudul Peranan KH. Umay Dja'far Shiddiq, MA dalam mengembangkan islam di Jampang Kulon, Sukabumi, yang dirilis pada tahun 2010 lalu.
Hitung-hitungan ekonomi, sangat sulit bagi Umay kecil bisa mendapatkan sekolah yang bagus layaknya keluarga lain. Akan tetapi ada sebuah kisah yang tak bisa dilupakannya, yang akhirnya menjadi penyemangat hidupnya untuk terus menuntut ilmu. Berikut cuplikan tulisan dari skripsi Pak Khoerudin,
Sudah dua bulan tahun pelajaran 1960-1961 berjalan, sepulang mengaji dan menginap di Masjid Bojongwaru, pagi itu ia merasakan hatinya perih tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan suasana ketika tak lama lagi anak-anak seusianya beramai-ramai bergerombol berjalan kaki menuju sekolah SD Bojong Genteng, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumahnya, sementara ia hanya bisa memandangi suasana itu. Umay kecil sampai mengurut dada, ia merasa sedih, keyatiman dan kemiskinan serasa telah membedakannya dari yang lainnya. Ibunya tak sanggup memasukkannya ke sekolah.Banyak sekali orang yang turut membantu Pak Umay dari SD hingga jenjang pendidikan S3 nya. Nama-nama orangnya pun tak kan pernah lekang oleh waktu. Semalam beliau menyebutnya satu per satu dengan lancar, bahkan hingga berkaca-kaca.
Entah kenapa, sore harinya sang ibu berpesan, “Nanti malam tidak usah tidur di masjid. Di rumah saja.”
Tanpa berpikir kenapa, ia menjawab, “Ya.”.
Kira-kira pukul tiga dini hari ia dibangunkan ibunya dan diajaknya ke tikar shalat. Rupanya sang ibu baru saja selesai shalat malam. Ternyata ibunya itu juga sedang menangis karena derita hati anaknya yang ingin sekolah.
Kedua lutut ibunya dipertemukan dengan dua lututnya, kemudian sang ibu berujar lirih, “Nak, semua manusia lahir dengan rasa ingin mulia. Ada manusia mulia karena kekayaannya, sedangkan kita miskin. Orang mulia karena turunan raden, sedangkan kita rakyat jelata. Orang mulia karena kerupawanannya, kita biasa-biasa saja. Orang mulia karena kepintarannya…maka carilah ilmu, untuk kemuliaanmu…”
Sesaat setelah mengatakan itu, ibunya mencium kening si anak, lalu dipeluknya di sela-sela isak tangisnya. Ibunya mengakhiri pembicaraannya dengan, “Maafin Emak, nggak bisa nyekolahin.”
Umay kecil tak begitu paham apa yang dikatakan ibunya. Dengan terkantuk-kantuk ia kembali ke kamarnya, lalu tidur lagi sampai subuh tiba.
Selepas Umay shalat Subuh, teringat olehnya sebagian dari ungkapan ibunya tadi malam, “Carilah ilmu, untuk kemuliaanmu…”
Seorang anak yatim dari pinggiran hutan di Sukabumi ini, akhirnya pulang kembali ke Sukabumi untuk turut membangun desanya, mendidik anak-anak di kampungnya. Kebanyakan anak-anak yatim dan anak-anak yang kurang mampu.
Sebuah Yayasan didirikannya, Darul 'Amal. Yayasan ini mempunyai sekolah dan asrama yang sekaligus pesantren. Muridnya dari mulai TK hingga level SMA. Jumlahnya sudah ribuan. Subhanallah!
Pak Umay adalah juga seorang penghafal alqur'an. Nikmat sekali rasanya bisa mengaji bersama beliau. Penjelasannya tentang ayat-ayat alqur'an yang direfleksikan dalam kehidupan manusia sungguh mudah dicerna. Nama surat dan ayat-ayat dalam alqur'an dipahaminya dengan baik.
Semoga ada saatnya bisa mengaji lagi sama beliau.
Dukhan, 4 Juni 2014
Sugeng Riyadi Bralink
* Khoerudin, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1431H/2010M.